Seluruh
penjuru dunia telah menyambut pergantian tahun. Seperti negara-negara
lain di dunia, masyarakat di Indonesia pun juga demikian. Jika di
beberapa negara Asia, seperti Jepang, Korea, dan China, masyarakatnya
menghabiskan malam Tahun Baru dengan mengunjungi tempat ibadah untuk
berdoa. Maka di Indonesia, meniup terompet sudah menjadi tradisi
masyarakat saat menyambut pergantian tahun. Sayangnya,
hingga saat ini tak banyak orang yang tahu mengapa terompet dipilih
untuk menyambut datangnya tanggal 1 Januari.
Semula, budaya meniup terompet ini merupakan budaya masyarakat Yahudi saat
menyambut tahun baru bangsa mereka yang jatuh pada bulan ke tujuh pada
sistem penanggalan mereka (bulan Tisyri). Walaupun setelah itu mereka
merayakannya di bulan Januari sejak berkuasanya bangsa Romawi kuno atas
mereka pada tahun 63 SM. Sejak itulah mereka mengikuti kalender Julian
yang kemudian hari berubah menjadi kalender Masehi alias kalender
Gregorian.
Pada
malam tahun barunya, masyarakat Yahudi melakukan introspeksi diri
dengan tradisi meniup shofar (serunai), sebuah alat musik sejenis
terompet. Bunyi shofar mirip sekali dengan bunyi terompet kertas yang
dibunyikan orang Indonesia di malam Tahun Baru.
Sebenarnya
shofar (serunai) sendiri digolongkan sebagai terompet. Terompet
diperkirakan sudah ada sejak tahun 1.500 sebelum Masehi. Awalnya, alat
musik jenis ini diperuntukkan untuk keperluan ritual agama dan juga
digunakan dalam militer terutama saat akan berperang. Kemudian terompet
dijadikan sebagai alat musik pada masa pertengahan Renaisance hingga kini.
Inilah sejarah terompet dan asal penggunaannya, merupakan syi’ar dan simbol keagamaan mereka saat merayakan tahun
baru. Selain itu, terompet juga dipakai oleh bangsa Yahudi dalam
mengumpulkan manusia saat mereka ingin beribadah dalam sinagoge (tempat
ibadah) mereka.